Hubungan Mental dengan Mengenali Diri Sendiri
Kesehatan
Mental
Menurut WHO, seseorang
dikatakan sehat apabila keadaannya baik mulai dari fisik, mental, dan sosial.
WHO juga telah mengklaim bahwa kesehatan mental merupakan salah satu bagian
yang harus mendapat perhatian dunia karena mempengaruhi masyarakat dunia.
Sebagai generasi Z, kita berperan besar dalam memahami dan menerapkan kesehatan
mental. Kesehatan mental biasanya dikaitkan dengan psikologi.
Salah
satu metode yang dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan mental adalah dengan memaknai
hidup. Maksud dari memahami makna hidup itu antara lain dengan
memahami sifat keberadaan pribadi mereka dan dapat merasakan suasana yang
terarah dan penuh arti. Hal
ini disebut juga sebagai Psychologycal well
being. Psychologycal well being penting untuk diterapkan karena individu dapat menguatkan ikatan sepenuhnya dalam
bertanggung jawab dan mencapai potensinya (Hardjo et
al, 2019).
Riff,
2007, disitasi oleh Heintzelman, S. J. (2018) mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki
Psychological
well being rendah akan memiliki
tingkat penerimaan diri yang kurang baik, perasaan tidak puas sering muncul terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman
masa lalu, dan tidak memiliki semangat dalam menjalani hidupnya saat ini yang selanjutnya berdampak ke perilaku menjaga jarak dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat, menghindari hubungan emosional dengan orang lain, tidak
memiliki tujuan dalam hidup, serta hanya
merasakan
kehampaan dalam hidupnya.
Maka
dari itu perlu untuk mengenali diri sendiri dalam usaha menjaga kesehatan
mental kita. Menemukan
makna hidup dapat meningkatkan kepuasan dalam hidup dan kesejahteraan mental psikologis
yang mempengaruhi proses kognitif dan emosional manusia
pada masa remaja akhir (Psarra & Kleftaras, 2013; Santos et
al, 2012; Steger, Oishi, & Kesebir, 2011).
Salah satu penentu kualitas
bangsa yang penting adalah kesehatan jiwa remaja. Remaja dapat menjadi aset
bangsa yang tidak ternilai apabila tumbuh dalam lingkungan yang kondusif dan
mendukung perkembangannya (Indarjo, 2009).
Tampak pucat, lelah, dan tidak memancarkan kegembiraan
dan kebugaran adalah gambaran remaja yang mengalami depresi. Biasanya mereka
tidak mengekspresikannya secara verbal. Gejala depresi pada remaja lebih sering
ditandai dengan adanya keluhan fisik seperti sakit kepala, sakit lambung,
kurang nafsu makan atau nafsu makan berlebih, dan kehilangan berat badan tanpa
penyebab organik (Indarjo, 2009). Penyalahgunaan zat, kejahatan, kekerasan,
kehilangan produktivitas hingga bunuh diri adalah bentuk dari masalah kesehatan mental yang dapat
muncul pada setiap individu (Yuliandari, 2018).
Persentase tindakan bunuh diri pada remaja yang mengalami
depresi lebih tinggi dibanding remaja yang keadaan psikologisnya baik.
Berdasarkan penelitian di Kentucky, Amerika Serikat, sekitar 30 % dari
mahasiswa tingkat persiapan dan pelajar sekolah menengah atas pernah mempertimbangkan
secara serius tentang percobaan bunuh diri dalam satu tahun terakhir pada saat diteliti,
19 % merancang rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri, dan 11 % telah melakukan
percobaan bunuh diri (Fellinge, 2009).
Perlu dilakukan berbagai upaya tindakan nyata demi terciptanya
remaja berkualitas dengan cara generasi muda yang kuat dan tahan dalam menghadapi
berbagai macam tantangan hidup dipersiapkan. Peran orang tua, guru, tokoh masyarakat,
dan masyarakat sekitarnya dalam memberikan bimbingan dan teladan sangat diperlukan
supaya remaja dapat melalui masa remajanya dengan baik (Indarjo, 2009).
Maka dari itu, sebagai generasi Z dan remaja Indonesia,
kita memiliki tanggung jawab yang besar dalam menjaga kesehatan mental kita karena
kita adalah aset negara yang berharga. Hal ini bisa kita lakukan dengan
mengenal diri sendiri dan menentukan siapa yang patut kita pertimbangkan
kata-katanya. Kita dapat memilih siapa kita selanjutnya untuk lebih optimal
dalam mengembangkan potensi dalam diri kita.
Komentar
Posting Komentar